Home » Posts tagged 'Denny J.A.'
Tag Archives: Denny J.A.
SI MALIN KUNDANG KAPITALISME
Denny J.A.
Mahasiswa Program Doktor Perbandingan Politik dan Bisnis,
Ohio State University, AS
Manifesto itu hanya setebal 20 halaman. Namun, judulnya cukup menyita perhatian, Restoring Democracy, Justice and Order in Indonesia: An Agenda for Reform. Isinya padat dan cukup komprehensif. Di samping memihak demokrasi, dokumen itu menekankan pilihan atas jalan kapitalisme bagi Indonesia. Sebuah seruan politik untuk berjuang menuju ekonomi liberal: mekanisme pasar, deregulasi, kompetisi, modal asing.
Jika manifesto liberal itu dibuat oleh seorang politisi atau teknokrat yang juga liberal, seperti Widjojo Nitisastro atau, yang lebih muda, Iwan Jaya Aziz, saya akan mudah paham. Ajakan menuju kapitalisme itu menjadi unik karena dokumen itu mengatasnamakan Megawati Soekarnoputri. Bukankah Megawati menjadi besar karena bayangan sang ayah, Bung Karno, yang tumbuh dalam tradisi populistik dan sosialistik, yang justru anti-kapitalisme dan anti-liberalisme?
Tentu, manifesto tersebut sangat mungkin ditulis oleh orang lain, tim ahli ataupun dapur pemikir di belakang Megawati. Namun, karena secara resmi nama Megawati yang dicantumkan, program ekonomi politik manifesto yang disebarkan ke luar negeri itu harus dianggap sebagai platform perjuangan Megawati sendiri.
Saya terkesima membacanya. Alangkah jauh pergeseran visi politik ekonomi telah terjadi. Di samping lapisan kecil kelompok terpelajar, pendukung utama Megawati pada dasarnya tetap kelompok sosial yang dulu juga pendukung Bung Karno. Mereka umumnya adalah kelompok PNI ataupun gerakan akar rumput. Kelompok pendukung utama itu punya keragaman pandangan, tapi relatif homogen dalam semangatnya yang anti-kebijakan ekonomi liberal-kapitalistik.
Megawati masih berdiri pada kelompok sosial itu. Namun, kini Megawati (penasihatnya) menggeser visi ekonominya jauh ke seberang, bahkan melawan tradisi lama kelompoknya. Megawati kini malah menganjurkan visi ekonomi liberal-kapitalistik yang dulu jelas menjadi musuh utama kelompok tradisionalnya sendiri. Bagaimana mungkin? Apakah Megawati hanya ingin memuaskan pendukungnya di luar negeri, di dunia Barat yang liberal?
Persoalannya, itu tak hanya terjadi di Indonesia, melainkan merupakan fenomena yang agak mendunia. Carlos Menem di Argentina pada dekade ini juga melakukan hal serupa. Menem pun besar karena ia didukung oleh kelompok Peronisme, pendukung utama Juan Peron, pemimpin besar Argentina yang karismanya sebesar Bung Karno.
Seperti Bung Karno, Peron juga seorang yang sangat nasionalistik dalam program ekonominya dan disemangati oleh jargon anti-kapitalisme dan anti-liberalisme. Namun, Carlos Menem sebagai seorang penganut Peronisme berbalik membuat langkah yang tak diduga pendukungnya. Kebijakan ekonomi yang Menem kembangkan adalah ekonomi liberal-kapitalistik. Ia justru menswastakan perusahaan negara, melakukan serangkaian deregulasi, dan mengurangi keterlibatan pemerintah untuk menuju sistem pasar dan perdagangan bebas. Ia melakukan berbagai kebijakan yang dulu ditentang oleh pendukung tradisionalnya.
Mengapa itu terjadi? Megawati dan Carlos Menem, serta kita semua, kini hidup di era baru. Kita berada dalam era yang di dalamnya kapitalisme tengah menyelesaikan pertarungannya yang terakhir, baik melawan sosialisme maupun nasionalisme ekonomi. Menggunakan term Fukuyama, kini kita berada dalam “The end of the History” dari pertarungan ideologi dunia. Namun, pemenangnya bukanlah demokrasi seperti yang dikira Fukuyama, melainkan kapitalisme.
Ideologi ekonomi yang sosialistik dan komunistik sudah tumbang lebih dahulu. Di Eropa Timur serta eks negara Uni Soviet, transisi menuju kapitalisme semakin hari semakin dalam. Sementara Cina, negeri besar komunis yang tersisa, semakin pragmatis pula untuk semakin menerapkan elemen kapitalisme. Kini, program ekonomi yang nasionalistik dan populistik menyusul pudar dan semakin ditinggalkan oleh pendukung lamanya. Sementara kapitalisme, dengan berbagai variannya, semakin berjaya. Dengan melemahnya sosialisme (komunisme) dan nasionalisme ekonomi, kapitalisme semakin tak memiliki saingan sebagai ideologi dunia.
Mengapa harus kapitalisme yang menang? Keberhasilan pembangunan ekonomi menjadi kunci akhir pertarungan ideologi. Sekuat apa pun sistem politik yang mengontrolnya dan secanggih apa pun filsafat sosial yang mendasarinya, jika ideologi tidak berakhir dengan tumbuhnya perekonomian nasional, ideologi itu akan kehilangan legitimasi. Sejarah menunjukkan prestasinya dalam mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Pertarungan selanjutnya terjadi antara berbagai variasi dalam sistem kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme yang berkembang di dunia ketiga umumnya, termasuk di Indonesia, berbeda dengan yang ada di Barat. Di dunia ketiga, kapitalisme tidak saja diwarnai oleh besarnya peran pemerintah dalam mengarahkan perekonomian nasional, tapi juga ia dikawal oleh sistem politik yang otoritarian.
Dalam jangka panjangnya, hidup kapitalisme di dunia ketiga seperti cerita Malin Kundang yang durhaka kepada ibunya. Agar kapitalisme itu tumbuh kuat ia harus dipangku dulu oleh “ibu” politik otoritarianisme. Mustahil ekonomi berjalan jika politik tidak stabil. Agar politik stabil, otoritarianisme acap menjadi pilihan sementara, dengan akibat kapitalisme itu akan diwarnai juga oleh kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Namun, setelah besar dan kuat, agar efisien, kapitalisme itu butuh sistem politik lain yang membuat publik dapat mengontrol kompetisi yang bebas, terbuka, dan seimbang. Seperti terjadi di Korea Selatan dan Taiwan, kapitalisme itu akhirnya membunuh ibu kandungnya sendiri, politik otoritarianisme (berikut kolusi, korupsi, dan nepotismenya) dan mengambil pasangan politiknya yang lain, yaitu politik demokrasi.
Agaknya, kisah si Malin Kundang kapitalisme itu akan terjadi pula di Tanah Air, cepat atau lambat.
*) Dimuat di Majalah Forum Keadilan, No. 9/VI, 11 Agustus 1997