Soedoet Pandang

Home » Tokoh » MAS BOWO DI GANG MADRASAH

MAS BOWO DI GANG MADRASAH

TENTANG KAMI

Di era digital, kita diserbu informasi yang datang berjejal-jejal setiap waktu, sepanjang waktu. Tapi, sebagaimana yang dikhawatirkan Aldous Huxley dalam novelnya yang terkenal, "Brave New World", yang mestinya kita khawatirkan di masa kini bukanlah kemungkinan terkekangnya kebenaran, melainkan kemungkinan tidak adanya kebenaran pada seluruh informasi yang membanjir tadi. Informasi yang datang bertubi-tubi juga tak selalu membuat kita bisa memahami keadaan dengan jernih. Kadang, informasi yang datang bertubi-tubi membuat kita kehilangan sudut pandang. Dan tanpa sudut pandang, informasi hanya akan menjadi teka-teki. Ia tak membawa pengertian, malah kebingungan. Kami ingin menyumbangkan itu, memberi Anda sudut pandang atas berbagai informasi yang mengitari kita, dan atas berbagai peristiwa yang telah dan tengah berlangsung. Dengan sudut pandang, Anda jadi mempunyai banyak cara dalam mencerna sebuah informasi dan memahami sebuah peristiwa, baik yang aktual maupun historikal. Selamat menikmati SOEDOET PANDANG.

Arsip yang Lalu

prabowo 03

Mas Bowo melontarkan sebuah gagasan besar: bagaimana Indonesia menjadi bangsa besar yang sejajar dengan Amerika Serikat, sejajar dengan super power-super power lainnya.

 

Gang Madrasah sempit, tidak memungkinkan dua mobil jalan berpapasan, terjepit di kawasan mahal, Kemang, Jakarta Selatan. Di Gang Madrasah itulah, di rumah konglomerat muda pemilik imperium bisnis Ika Muda Group, Soetrisno Bachir, saya, juga Zaim Uchrowi (Direktur Utama PT Adil) bertemu Mas Bowo.

Tanggal tepatnya saya lupa. Yang pasti bulannya Februari, tahunnya 1991. Mas Bowo, begitu kami memanggil Prabowo Subianto. Waktu itu ia baru menyandang pangkat Letnan Kolonel. Siang itu ia tampil kelewat sederhana. Mengenakan blue jeans dan polo shirts bercorak garis-garis warna biru muda. Mas Bowo datang lebih cepat 5 menit dari waktu perjanjian pukul 13.00.

Sebagai menantu presiden, sebagai prajurit pasukan elite yang berjuluk Kopassus, Mas Bowo membuat saya begitu kagum pada detik pertama, saat mengulurkan tangannya, menyalami saya. Kalem, sederhana, ganteng, dan sorot matanya menyiratkan kecerdasan. Tak terbersit sama sekali Mas Bowo seorang tentara.

Peretemuan siang itu, hanyalah pertemuan biasa. Adalah Soetrisno Bachir, yang punya janji sekaligus tuan rumah, dan mengajak saya dan Zaim bertemu Mas Bowo. Kami hanya sekedar bertukar pikiran. Tepatnya, kami menghibur diri sendiri, lantaran baru saja kena mushibah. SIUPP Harian Berita Buana yang kami kelola diminta kembali oleh yang punya.

Tema obrolan pun ngalor-ngidul. Yang sampai kini saya masih heran, Mas Bowo begitu fasih membedah Pancasila, P-4, bahkan ajaran-ajaran Islam. Sampailah kemudian Mas Bowo melontarkan sebuah gagasan besar: bagaimana Indonesia menjadi bangsa besar yang sejajar dengan Amerika Serikat, sejajar dengan super power-super power lainnya.

Bagaimana agar Indonesia tidak menjadi negara kelas embek yang jatahnya hanya untuk didikte-­dikte, disuruh manut-manut saja, atau ditekan-tekan. “Presidennya kelak harus Habibie. Habibie sosok yang paling tepat menggantikan Pak Harto,” begitu kata Mas Bowo dengan penuh keyakinan. Habibie identik dengan teknologi tinggi, dan itulah syarat yang menyempurnakan sosok pemimpin masa depan.

Dengan penguasaan teknologi tinggi, Mas Bowo yakin, Habibie akan bisa mewujudkan kekuatan militer mutakhir: senjata nuklir. Senjata nuklir menjadi kata kunci untuk memenangi persaingan global. Dengan senjata nuklir, Mas Bowo yakin, Indonesia tidak lagi dilihat dengan sebelah mata.

Nilai tawar pun kian tinggi. Dengan nuklir pula Indonesia akan menjadi bangsa yang disegani. Bangsa yang tidak sekedar jadi mangsa negara-negara Barat. Mas Bowo yakin seyakin-yakinya. Dahsyat!

 

rahman

Tidak berlebihan jika kemudian Rahman Toleng menjuluki Prabowo sebagai pelopor gerakan LSM di Indonesia.

 

Imam Yudotomo, Ketua Gerakan Mahasiswa Sosialis (GEMSOS), punya pengalaman lain yang diungkap dalam Adil No. 13, Tahun ke-67, Desember 1998, dalam laporan berjudul, “Si Pelopor Gerakan LSM”.

Sekretariat KAMI (Kesaktuan Aksi Mahasiswa Indonesia) cabang Yogyakarta, pada akhir 1960-an silam, kedatangan seorang pemuda dari Jakarta. Pemuda yang mengaku baru lulus SLTA itu menawarkan ide tentang perlunya membuat sebuah lembaga yang bergerak di bidang sosial, tapi memiliki dampak politik yang besar.

Ide tersebut ditanggapi dengan dingin oleh para aktivis mahasiswa yang masih getol berdemonstrasi. Namun begitu, mereka sempat mempertemukan si pemuda yang belum dikenal itu dengan Imam Yudotomo. Lagi-lagi remaja berwajah bersih itu mengutarakan maksud kedatangannya. “Tampaknya dia diilhami oleh gerakan Martin Luther King,” cerita Imam Yudotomo.

Tak lama kemudian, pemuda itu membentuk sebuah wadah dengan nama Lembaga Pembangunan. Lembaga ini berpusat di Jakarta, memiliki cabang di Yogyakarta dan Bandung. Beberapa tokoh Mahasiswa Jakarta, seperti Sjahrir, Rahman Toleng dan Suripto, turut membidani pendiriannya. Di Yogyakarta, lembaga ini dipimpin oleh Isti Sumardi. Sedangkan Imam Yudotomo, entah dengan alasan apa tidak dilibatkan.

 

imam yudotomo 2

“Tampaknya dia diilhami oleh gerakan Martin Luther King,” cerita Imam Yudotomo.

 

Lembaga tersebut sedikit banyak dapat berjalan seperti yang diharapkan. Sejumlah aktivitas berhasil mereka lakukan. Misalnya, cabang Yogyakarta berhasil menyelenggarakan kegiatan pengobatan massal dan pembagian obat di daerah Wonosari, Gunung Kidul. Kegiatan yang sasarannya meningkatkan kualitas hidup kaum miskin itu dapat berjalan atas bantuan pemerintah Australia.

Siapa pemuda yang memelopori lembaga itu? Dialah Prabowo Subianto. Apa yang dulu dia lakukan adalah sesuatu yang kini dikerjakan oleh para aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Tidak berlebihan jika kemudian Rahman Toleng menjuluki Prabowo sebagai pelopor gerakan LSM di Indonesia. Karena sejak awal tahun 1980-an itulah, gerakan LSM tumbuh menjamur bagaikan cendawan di musim hujan.

 

prabowo-subianto-01

Kalau ingin mengadakan perubahan di Indonesia harus melalui militer, katanya pada beberapa kesempatan.

 

Prabowo, putra Sumitro Djojohadikusumo,begawan ekonomi, yang lahir di Jakarta 7 Oktober 1951 ini, memang berbakat menjadi seorang pemimpin. Selepas SMA, dia diterima di tiga universitas terkenal sekaligus, George Washington University, Colorado University, dan sebuah universitas di Rhode Island.

Namun, Prabowo yang pernah lama melanglang buana bersama ayahnya di luar negeri, memilih kembali ke Tanah Air, lalu membentuk Lembaga Pembangunan. Sayang, belum setahun, pendiriannya berubah. Dia tinggalkan begitu saja lembaga yang sudah berjalan itu. Dan, secara mengejutkan, Prabowo mendaftar ke Akademi Militer Magelang. “Kalau ingin mengadakan perubahan di Indonesia harus melalui militer,” katanya pada beberapa kesempatan.

Prabowo akhirnya diterima menjadi taruna Akabri tahun 1970. Kendati sempat tinggal kelas, dia berhasil lulus pada tahun 1974. Sejak itulah oleh para pengamat militer dia dijuluki sebagai The Golden Boy, dan karena karier militernya mero­ket meninggalkan kawan-kawannya seangkatan di Akmil, ia mendapat tambahan predikat sebagai The Rising Star.

Prestasi Prabowo memang rnembanggakan. Keberhasilan Tim Kopassus mencapai puncak Everest di pegunungan Himalaya, 26 April 1997, adalah salah satunya. Saat itulah untuk pertama kalinya, takbir Allahu Akbar dikumandangkan di puncak gunung tertinggi di muka bumi ini.

Di bawah kepemimpinannya, Kopassus bukan saja menjadi pasukan elite yang amat solid. Tapi sekaligus bertabur prestasi. Bahkap sebuah koran asing, The Times, menyejajarkan Kopassus dengan pasukan elite terkemuka di dunia, SAS Inggris, dan Special Force Israel. Ini menyusul keberhasilan korps baret merah tersebut membebaskan Tim Ekspedisi Lorentz (yang bekerja untuk World Wildlife Fund) yang disandera gerombolan OPM (Organisasi Papua Merdeka) pimpinan Kelly Kwalik di Mapenduma, Irian Jaya, Mei 1996.

Bukan rahasia lagi kalau selama ini Prabowo dikenal dekat dengan kalangan Islam. Sejumlah tokoh dan organisasi Islam garis keras, mulai KISDI, ICMI, DDII, didekati. Julukan ABRI hijau akhirnya tak terelakkan. Lebih-lebih Prabowo kabarnya pernah mengklaim sebagai tentara Islam. Bukan itu saja. Prabowo juga diisukan anti-Cina. Bahkan, ketika kerusuhan anti-Cina, 13-15 Mei 1998 meletus, Prabowo dituding sebagai dalangnya. (Budiono Darsono)

 

*) Dimuat dalam Tabloid Adil, No. 45/Th. 66, Agustus 1998


2 Comments

  1. 春の青い says:

    Reblogged this on Reira Lee.

  2. Lyna Riyanto says:

    Semoga cita cita Pak Prabowo Subianto tercapai
    Dengan doa dan dukungan rakyat Indonesia
    Aaamiiinn.

Leave a comment