Soedoet Pandang

Home » Politika » DIASPORA KAUM MARHAENIS

DIASPORA KAUM MARHAENIS

TENTANG KAMI

Di era digital, kita diserbu informasi yang datang berjejal-jejal setiap waktu, sepanjang waktu. Tapi, sebagaimana yang dikhawatirkan Aldous Huxley dalam novelnya yang terkenal, "Brave New World", yang mestinya kita khawatirkan di masa kini bukanlah kemungkinan terkekangnya kebenaran, melainkan kemungkinan tidak adanya kebenaran pada seluruh informasi yang membanjir tadi. Informasi yang datang bertubi-tubi juga tak selalu membuat kita bisa memahami keadaan dengan jernih. Kadang, informasi yang datang bertubi-tubi membuat kita kehilangan sudut pandang. Dan tanpa sudut pandang, informasi hanya akan menjadi teka-teki. Ia tak membawa pengertian, malah kebingungan. Kami ingin menyumbangkan itu, memberi Anda sudut pandang atas berbagai informasi yang mengitari kita, dan atas berbagai peristiwa yang telah dan tengah berlangsung. Dengan sudut pandang, Anda jadi mempunyai banyak cara dalam mencerna sebuah informasi dan memahami sebuah peristiwa, baik yang aktual maupun historikal. Selamat menikmati SOEDOET PANDANG.

Arsip yang Lalu

imam yudotomo

 

Oleh Imam Yudotomo

Direktur CSDS (Center for Social-Democratic Studies);

Pendiri RTI (Rukun Tani Indonesia)

 

Sejak awal, pengaruh ajaran Marx di dalam gerakan nasionalis sebenarnya cukup besar. Di dalam tulisannya tentang Marhaenisme, Soekarno dengan jelas menggambarkan nasib kaum Marhaen dengan cara analisis yang Marxistis. Kalau Marx menyebutkan bahwa salah satu sebab mengapa kaum proletar hidup dalam kemiskinan adalah karena mereka tidak menguasai alat produksi, maka Soekarno mengemukakan bagaimana nasib kaum marhaen, yang sekalipun telah menguasai alat produksi, berupa tanah dan alat-alat pertanian lainnya, tapi ternyata tetap juga miskin! Hampir seperti Lenin, Soekarno menyebut kolonialisme sebagai sebab utamanya. Soekarno menyebut bahwa penindasan dan penghisapan terhadap kaum marhaen di Indonesia jauh lebih kejam dari penindasan dan penghisapan terhadap kaum buruh di negara-negara Eropa Barat, karena kaum kapitalis yang menjadi sumber berkembangnya imperialisme dan kolonialisme harus mendapatkan keuntungan yang lebih besar—ekstra profit—untuk menunjang kehidupan dan kesejahteraan kaum buruh di negara-negara tersebut. Karena itu tidaklah mengherankan kalau dalam tulisan dan pidato-pidato berikutnya, meskipun ini menurut saya lebih merupakan pengaruh dari Nyoto—penulis pidato Bung Karno pada 1960-an, Soekarno dengan jelas menyatakan bahwa pada hakikatnya Marhaenisme itu adalah Marxisme yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia. Dalam penyesuaian itu, sebagaimana saya jelaskan dalam tulisan saya yang lainnya mengenai Marhaenisme, terdapat kritik yang otentik dari Soekarno terhadap Marxisme.

 

… karena kebutuhan sesaat untuk mendapatkan pendukung dalam jumlah yang besar, PNI ternyata kemudian menjadi tempat penampungan atau menyelamatkan diri bagi mereka yang mempunyai latar belakang pendukung Belanda atau balatentara fasis Jepang di masa lalu, terutama para pamong praja dan pegawai negeri.

 

Akan tetapi, dalam perkembangannya kemudian, PNI yang didirikan dengan Marhaenisme sebagai landasan dasarnya, yang bisa diartikan sebagai Marxisme yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia sebagai ideologinya, ternyata tidak mampu menjadikan dirinya sebagai partai yang revolusioner sebagaimana layaknya partai yang ideologinya dipengaruhi oleh Marxisme. Hal itu terutama karena dalam proses perkembangan itu ternyata PNI lebih menawarkan sifat-sifat nasionalisme-nya, yang sering kali diartikan sangat sempit, daripada menawarkan gagasan-gagasan revolusioner Marxismenya. Dan lebih dari itu, karena kebutuhan sesaat untuk mendapatkan pendukung dalam jumlah yang besar, PNI ternyata kemudian menjadi tempat penampungan atau menyelamatkan diri bagi mereka yang mempunyai latar belakang pendukung Belanda atau balatentara fasis Jepang di masa lalu, terutama para pamong praja dan pegawai negeri. Agar kedudukannya yang dijabat dalam struktur pemerintahan tidak diganti, maka mereka masuk PNI, yang pada kenyataannya memang melindungi mereka. Hal ini merupakan penjelasan mengapa banyak anggota PNI yang berasal dari pamong praja atau birokrasi pemerintah. Selain itu, akibat bermacam-macamnya sifat atau watak di dalam kepemimpinan PNI, yaitu adanya tokoh-tokoh yang berhaluan nasionalis radikal seperti Mangunsarkoro, Dr. A.K. Gani, Dr. Isa dan Mr. Sartono, adanya tokoh-tokoh yang dikenal berkemampuan sebagai administrator seperti Mr. Wilopo, Usep Ranuwijaya, adanya tokoh-tokoh yang mewakili kepentingan kaum birokrat-pamong praja, seperti Sanusi Harjadinata, Hadi Subeno, Osa Maliki dan adanya tokoh-tokoh yang berhaluan kiri seperti Sidik Joyosukarto, Mr. Ali Sastroamijoyo, Mr. Sunario, Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo, ternyata telah membuat warna politik PNI menjadi kurang jelas. Akan tetapi di atas segala-galanya, karena banyaknya kaum oportunis yang menjadi pendukung PNI itu, maka gerak dan tingkah laku PNI menjadi sangat konservatif, dan bahkan reaksioner, sekalipun masih selalu dan tetap muncul dengan slogan-slogan revolusionernya. Hal ini sejalan dengan karakter atau watak kelas para pendukungnya itu yang sebagian besar adalah kaum borjuis itu.

 

PNI

 

Kenyataan bahwa PNI tidak mampu bersikap revolusioner sebagaimana dikehendaki Soekarno, seringkali membuat Soekarno kecewa. Ada beberapa tokoh yang mencoba untuk merevolusionerkan kembali ajaran Soekarno dengan menghidupkan kembali Partindo—Asmoro Danuwinoto, Sutomo. Akan tetapi partai ini hanya diminati oleh sebagian kecil pendukung Soekarno dan pada akhirnya justru partai ini lebih dekat dengan PKI, dan bahkan kemudian dianggap menjadi bagian dari PKI. Kekecewaan Soekarno ini ternyata kemudian mendorong beberapa tokohnya untuk menjadikan PNI bersikap lebih kiri dari pada sebelumnya. Dipelopori oleh beberapa tokoh yang setia pada Soekarno, antara lain oleh Mr. Ali Sastroamijoyo, Mr. Sunario, Mr. Iskaq Tjokrohadisurjo, Satyagraha dan lain-lain, kekuatan ini mulai mencoba menguasai PNI. Dengan tema membersihkan Marhaenis gadungan dari tubuh partai, mereka berusaha menyingkirkan lawan-lawannya.

Di dalam konggres Purwokerto di tahun 1962, kelompok ini berhasil menyingkirkan Hardi dan Isnaeni, yang dicap sebagai Marhaenis gadungan itu dari kepemimpinan partai. Dalam kongres itu juga berhasil dimasukkan Ir. Surachman, yang kemudian lebih dianggap sebagai kader PKI yang disusupkan ke dalam PNI. Duet Mr. Ali Sastroamijoyo dan Ir. Surachman dalam perjalanannya kemudian juga berhasil menyingkirkan tokoh-tokoh lainnya, antara lain Osa Maliki, Usep Ranuwijaya, Sanusi Harjadinata, dan Hadisubeno.

 

soekarno_143

… karena memang masih belum terbiasa dengan aksi-aksi dan manuver-manuver politik revolusioner, maka posisinya selalu hanya terbatas berada di belakang dan hanya menjadi junior-partner dari PKI. Di masa itu PNI lebih banyak mendukung manuver-manuver politik PKI daripada mengambil inisiatif untuk melancarkan aksi-aksinya sendiri.

 

Namun ternyata tetap saja, Soekarno tidak merasa puas dengan sepak terjang PNI yang sudah dipimpin oleh duet Ali-Surachman, sehingga pada akhirnya Soekarno lebih banyak bekerja sama dengan PKI daripada dengan PNI yang dianggap sebagai partainya sendiri.

Setelah duet Ali-Surahman berhasil menguasai partai dengan menyingkirkan tokoh-tokoh di atas, kepemimpinan PNI berada dalam dominasi unsur-unsur kiri. Pada awal tahun 1960-an, PNI mulai ikut aktif dalam apa yang disebut sebagai kompetisi revolusioner yang dianjurkan Soekarno dan berangkul-rangkulan dengan PKI. Akan tetapi, karena memang masih belum terbiasa dengan aksi-aksi dan manuver-manuver politik revolusioner, maka posisinya selalu hanya terbatas berada di belakang dan hanya menjadi junior-partner dari PKI. Di masa itu PNI lebih banyak mendukung manuver-manuver politik PKI daripada mengambil inisiatif untuk melancarkan aksi-aksinya sendiri. Keterlibatan PNI dalam kompetisi revolusioner bersama PKI seperti dikatakan di atas telah menjadikan kebijakan PNI di tingkat nasional sejalan dan bahkan mengekor strategi PKI.

Akan tetapi, pada saat di tingkat nasional PNI dengan mesranya berangkul-rangkulan dengan PKI, di tingkat bawah—di daerah-daerah—PKI ternyata melancarkan aksi-aksi dan membuat orang-orang PNI menjadi sasaran dan korbannya. Bersamaan dengan aksi-aksi PKI menghadapi kekuatan-kekuatan politik yang lain—terhadap golongan agama di Jawa Timur dan terhadap militer di Sumatera Utara dan Jawa Barat, PKI melancarkan aksi sepihak dan aksi ganyang 7 Setan Desa terhadap PNI, terutama di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah. Aksi-aksi ini tentu saja membuat banyak eksponen PNI di daerah menggugat kebijakan politik yang berangkul-rangkulan dengan PKI di tingkat nasional itu, karena jelas sekali bahwa aksi-aksi PKI terhadap mereka di tingkat bawah sangat merugikan.

 

Dengan hilangnya kekuatan-kekuatan kiri di dalam tubuh PNI, maka dengan mudah PNI ditundukkan oleh penguasa rezim Orde Baru dan menjadikan PNI secara ideologis tidak ada artinya sama sekali.

 

Selanjutnya, keterikatan PNI dalam kerja sama dengan PKI di tingkat nasional itu menyebabkan PNI tidak mempunyai sikap yang jelas menghadapi “kudeta” G30S yang meletus beberapa saat kemudian. Akibat permberontakan itu, PNI benar-benar dalam posisi yang sangat dilematis. Karena, kalau kebijakan mengekor strategi PKI itu dilanjutkan, maka pastilah PNI akan ikut digilas situasi. Untuk terus berlindung di balik Soekarno juga sulit, karena posisi Soekarno sendiri kian hari kian terdesak karena keengganannya membubarkan PKI.

Sementara itu, di tingkat bawah, telah banyak pimpinan PNI di daerah mengambil inisiatif sendiri untuk mengambil bagian yang aktif dalam penghancuran PKI. Di daerah-daerah di mana PNI kuat dan di mana dulu PKI telah menjadikan PNI sebagai korban—dalam aksi sepihak, aksi ganyang 7 Setan Desa—maka pembunuhan dan pengejaran orang-orang PKI dilakukan oleh orang-orang PNI, seperti yang terjadi di Bali, Jawa Tengah dan Yogyakarta, serta bukan dilakukan oleh kelompok-kelompok agama seperi yang terjadi di daerah-daerah lain. Dalam keadaan seperti itu, posisi kelompok kiri di dalam kepemimpinan PNI tidak dapat dipertahankan lagi. Apalagi kemudian Ir. Surachman sendiri melarikan diri dan ikut bergerilya bersama PKI di daerah Blitar Selatan dan akhirnya tertembak mati di sana pada tahun 1968. Ditambah dengan dorongan yang amat kuat dari pihak militer agar PNI bisa membersihkan diri dari unsur-unsur PKI, maka pembersihan unsur kiri dari tubuh PNI giat dilaksanakan di mana-mana.

Berkat bantuan pihak militer para tokoh yang dulu dipecat karena dianggap Marhaenis gadungan kemudian didudukkan kembali pada posisinya. Melalui kongres di Bandung dapat dimunculkan kepengurusan PNI baru di bawah pimpinan Osa Maliki sebagai ketua umum dan Usep Ranuwijaya sebagai sekretaris jenderal, dengan didukung oleh tokoh-tokoh daerah yang berpengaruh lainnya seperti Hadi Subeno, Harjanto Sumodisastro, Marsusi dan dikenal sebagai PNI Osa-Usep.

Usaha untuk menyingkirkan kelompok Ali-Surachman dari kepemimpinan PNI dipermudah setelah pihak militer berhasil memisahkan Soekarno dari orang-orang terdekatnya, seperti Ruslan Abdulgani yang kemudian bahkan ikut menyuarakan kepentingan Orde Baru di forum Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Di lain pihak, usaha kelompok Ali-Surachman untuk bertahan dengan menampilkan Sarino Mangunpranoto sebagai tokoh kompromis yang diharapkan dapat menjembatani kelompok Ali-Surachman dengan Osa-Usep, yang juga berarti menyelamatkan kelompok Ali-Surachman itu sendiri, tidak dapat diterima oleh pihak militer. Sehingga karenanya, usaha itu gagal total.

Dengan hilangnya kekuatan-kekuatan kiri di dalam tubuh PNI, maka dengan mudah PNI ditundukkan oleh penguasa rezim Orde Baru dan menjadikan PNI secara ideologis tidak ada artinya sama sekali. Pada saat menghadapi Pemilihan Umum tahun 1971, lewat kebijakan monoloyalitas yang dipromosikan Amir Machmud dan Ali Moertopo, kekuatan pokok PNI yang terdiri dari para pamong praja dan pegawai negeri dengan mudah dapat ditarik masuk Golkar. Hal ini sebenarnya sangat mudah dimengerti, karena seperti dikatakan di atas, banyak sekali kaum oportunis berada dalam tubuh PNI. Pada tahapan berikutnya, dengan mudah pula PNI digiring untuk berfusi dengan beberapa partai lain, yang secara ideologis sebenarnya jauh berbeda, yaitu dengan Partai Katolik, Parkindo/Partai Kristen Indonesia, Murba dan IPKI/Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia yang didukung kaum militer, menjadi PDI/Partai Demokrasi Indonesia. Sejak jatuhnya Ali-Surachman dari kepemimpinan PNI, sebenarnya tamat sudah riwayat kelompok kiri dalam PNI secara formal. Sekalipun ada beberapa tokoh yang masuk dalam PDI, namun secara umum dapat dikatakan bahwa kekuatan ini menolak untuk berintegrasi sepenuhnya ke dalam tubuh PDI.

Dalam perkembangan PDI berikutnya, ada usaha untuk melepaskan PDI dari pengaruh kekuasaan dan khususnya kaum militer sebagai yang pernah dilakukan oleh kelompok eks-PNI, seperti Sanusi Harjadinata dan Usep Ranuwijaya. Namun usaha ini gagal, lagi-lagi karena banyaknya kaum oportunistis yang ada di dalam tubuh PDI—yang berasal dari PNI, yang dengan suka cita segera bersedia bekerja sama dengan penguasa dan kaum militer, seperti yang dilakukan Suryadi, Marsusi, Yahya, Theo, dan sebagainya. Waktu itu, kekuatan kiri yang masih ada terpencar di sana-sini dan berkumpul di sekitar tokoh-tokoh tua pendukung Soekarno dan terutama di sekitar putra-puterinya sendiri, seperti Megawati, Rachmawati dan Guruh. Namun secara ideologis mereka kurang atau bahkan tidak mempunyai keberanian untuk menyebut dirinya sebagai kelompok kiri, apalagi sebagai marxis, bahkan untuk menyebut diri sebagai kaum marhaen saja mereka enggan.

 

Proses Reformasi yang melegitimasikan kembali PDI di bawah pimpinan Megawati, yang kemudian melahirkan PDI-Perjuangan, tidak serta merta menjadikan PDIP berkembang sebagai partai yang memakai ajaran Soekarno sebagai ideologinya. Mengapa? Karena ternyata PDIP menampung banyak tokoh yang tidak jelas aspirasi dan ideologi politiknya. Masuknya tokoh-tokoh seperti Arifin Panigoro, Tjahyo Kumolo, Jakob Tobing dan semacamnya menjadikan warna ideologi PDIP menjadi tidak jelas. 

 

Hal ini terjadi karena proses penumpulan ideologis telah terjadi dengan dahsyat di kalangan orang-orang bekas PNI. Untuk mempertahankan eksistensinya mereka lebih suka mengidentifikasikan diri mereka sebagai pengikut Soekarno saja. Kemunculan Megawati dalam PDI di akhir rejim Orde Baru memang memperlihatkan tanda-tanda bangkitnya kembali kekuatan kelompok marhaenis, terutama kalau dilihat dari dukungan yang diterimanya dari daerah-daerah dan dukungan dari tokoh-tokoh tua. Akan tetapi kebangkitan itu masih belum jelas benar, karena posisi Megawati sendiri yang sangat dilematis.

Pada periode akhir kekuasaan Soeharto, Megawati sebenarnya telah berada di luar sistem kepartaian yang formal. Namun dia masih tetap berusaha untuk tampil secara konstitusional, yang artinya tidak memungkinkan dia untuk sepenuhnya memakai atau mengintegrasikan diri dengan kekuatan kiri yang mendukungnya itu. Akan tetapi tanpa dukungan mereka, perjuangannya juga tidak akan bisa militan seperti yang selama ini dilakukan. Atau bahkan mungkin tidak akan ada artinya. Penampilannya secara konstitusional ini ternyata menghapus harapan masuknya kembali kelompok kiri dalam dinamika politik formal di Indonesia. Apalagi peran kelompok Parkindo—Sabam Sirait, Panda Nababan—dan kelompok mantan militer—Theo Syafei—dalam PDIP yang didirkan kemudian tampak sangat menonjol.

Proses penumpulan ideologis di dalam tubuh PDI harus diamati secara lebih cermat. Seperti dikatakan di atas, sekalipun mereka masih mengidentifikasikan diri sebagai pengikut Soekarno, dan Megawati beberapa kali menyebut dirinya semacam sosial-demokrat (a kind of social-democrat) dalam sebuah wawancaranya dengan wartawan luar negeri, namun sisi Marxist-nya tidak tampak jelas atau bahkan tidak ada sama sekali. Proses Reformasi yang melegitimasikan kembali PDI di bawah pimpinan Megawati, yang kemudian melahirkan PDI-Perjuangan, tidak serta merta menjadikan PDIP berkembang sebagai partai yang memakai ajaran Soekarno sebagai ideologinya. Mengapa? Karena ternyata PDIP menampung banyak tokoh yang tidak jelas aspirasi dan ideologi politiknya. Masuknya tokoh-tokoh seperti Arifin Panigoro, Tjahyo Kumolo, Jakob Tobing dan semacamnya menjadikan warna ideologi PDIP menjadi tidak jelas.

Hal ini diperjelas lagi dengan hasil PDIP dalam pemilihan umum 1999 yang makin melegitimasikan keberadaan mereka di dalam tubuh PDIP. Di masa depan, masalah ini tentu saja akan dapat menimbulkan persoalan. Karena masih menjadi pertanyaan, apakah mantan kader-kader GMNI yang sekarang berada dalam PDIP, yang cukup banyak jumlahnya dan untuk sebagian bisa dianggap sebagai pewaris PNI—Taufik Kiemas, Suparlan—akan berdiam diri melihat ideologi PDIP yang tidak jelas seperti sekarang ini? Hal ini mungkin bisa kita lihat dari hasil Pemilihan Umum 2004 yang akan datang karena konon ada usaha-usaha dari kelompok mantan aktivis GMNI untuk mengambil peran yang lebih penting lewat pemilihan umum 2004 ini.

Kelompok Marhaenis lain terpencar di beberapa partai yang ikut dalam Pemilihan Umum 1999, seperti misalnya PNI-Supeni, PNI Front-Marhenis (yang dimanfaatkan oleh Probosutedjo untuk eksistensi dirinya), Partai Nasional Demokrat—yang dipimpin oleh anak tokoh PNI dan PDI Prof. Dr. Sunawar Sukowati yang dulu sangat dekat dengan militer, Edwin Sukowati—dan lain-lainnya. Sekalipun beberapa di antara partai itu mendapat kursi di DPR-RI, namun tidak ada satupun yang bisa melampaui batas 2% sebagai yang ditetapkan sebagai electoral-treshold. Dalam Pemilihan Umum 2004, para pengikut Soekarno di luar PDIP mengorganisir diri ke dalam Partai Nasional Banteng Kemerdekaan (PNBK) di bawah pimpinan Eros Djarot, yang banyak menampung para pembelot dari PDIP, Partai Nasional Marhaenis yang merupakan kelanjutan dari partai PNI-Supeni yang dipimpin oleh salah seorang anak Soekarno—Sukmawati—dan ke dalam Partai Pelopor yang dipimpin oleh seorang anak Soekarno yang lainnya—Rachmawati. Banyaknya partai yang mewakili ideologi Marhaenisme dan banyaknya anak Soekarno yang aktif dalam partai-partai menunjukkan betapa ideologi Marhaenisme memang belum bisa dijadikan ideologi pemersatu bangsa seperti yang diinginkan oleh Soekarno, atau paling tidak belum ada penafsiran yang bisa diterima oleh mayoritas bangsa Indonesia. Inilah tantangan bagi kaum Marhaenis di masa depan.

 

Yogyakarta, Medio 2004


1 Comment

  1. doddokoplok says:

    Reblogged this on doddokoplok's Blog.

Leave a reply to doddokoplok Cancel reply